Jumat, 29 April 2016

Puisi Bahasa Inggris tentang persahabatan dan artinya


A Deep Meaning of Friendship
 
Friendship is like the two rings that have different shapes
But can be combined with a very strong sense
Friendship is just a word
But it has a deep meaning
We’ll feel it when actually find
A continued friend in a life
Friendship has always been an oasis when we experience sadness
Friendship is always a joy to be complementary
A day without friends is very strange
Months without friends are very painful
True friends will always be missed
Talks will continue to be memorable
Easy to get a rich friend
But hard getting a forever friend
Because a true friend is not for a reason
 


Makna yang dalam tentang persahabatan

Persahabatan adalah seperti dua cincin yang memiliki bentuk yang berbeda
Tapi dapat dikombinasikan dengan rasa yang sangat kuat
Persahabatan adalah hanya sebuah kata
Tetapi memiliki makna yang dalam
Kita akan merasakannya saat benar-benar menemukan
Seorang sahabat yang terus ada dalam kehidupan
Persahabatan selalu menjadi oasis ketika kita mengalami kesedihan
Persahabatan melengkapi sebuah kegembiraan
Sebuah hari tanpa sahabat sangat aneh
Berbulan-bulan tanpa sahabat yang sangat menyakitkan
Teman sejati akan selalu dirindukan
Pembicaraan akan terus menjadi kenangan
Mudah untuk mendapatkan teman kaya
Tapi sulit mendapatkan teman sejati
Karena teman sejati datang bukan karena suatu alasan

Kamis, 28 April 2016

Puisi untuk Ayah dan Bunda



Ibu…
Aku hadir ke dunia
 karena engkau
Bapak….
Akupun juga hadir
Kedunia karena dirimu
Ibu & Bapak….
Betapa besar jasa dan pengorbananmu
Untuk anak anakmu
Akan sanggupkah sang anak ini
Untuk membalas budi, jasa & pengorbananmu..??
Diri ini pun sadar bahwa sesungguhnya
Segalah sesuatu yang ku lakukan itu
Tak akan pernah bisa membalas budi,
Jasa dan pengorbananmu…
Diri ini hanya bisa membuatmu
Sedih karena tingkahku yang tidak baik
Meskipun engkau tekah berusaha 
Mandidikku dengan yang baik.
Ibu…
Maafkanlah segalah dosa-dosa
Anakmu ini
Bapak ….
Maafkanlah segalah tingkah
Laku anakmu ini yang tidak baik.
Bimbinglah terus diri ini
Agar bisa membuatmu bahagia
di suatu hari kelak,
Terimakasih Ibu/Bapak alangkah mulianya dirimu
Yang dengan setia menjaga, merawat , mendidik,
Melindungi dan mendoakan diri ini hingga
sekarang  dengan penuh kesabaran serta ketabahan…

Penulis :

Rhiana

Cinta bagaikan tunas kelapa


Perumamaan Cinta

Cinta bagaikan tunas ‘kelapa’
Yang bisa tumbuh
Dimana saja dan kapan saja

Cinta seperti ‘sandi’
Yang susah di tebak

Cinta juga bagaikan “morse”
Yang susah untuk diartikan

Dan Cinta bagaikan’api unggun’
yang makin besar makin terasa kehangatannya


By : Riana & Risna

Makalah Tentang Hadist dan Sunnah by Arhiana Mariana

METODOLOGI STUDI ISLAM
 







Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah
Metodologi Studi Islam Semester VI jurusan Tarbiyah
Program Studi Tadris Bahasa Inggris

Oleh :
 Mariana :       02134094





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
2014


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………  i
BAB I :           PENDAHULUAN………………………………………………..  
A. Latar belakang…………………………………………. ..…1
B.  Rumusan masalah ……………………………………..……2
C.   Tujuan ………………………………………………….. ….2
BAB II :          PEMBAHASAN………………………………………………3
A. Definisi Hadist dan Sunnah……………………...……..…..3
B.  Kedudukan Hadist dan AS-Sunnah ……………………            …5
C.  Sejarah Hadist ………………………………………………6
D. Aspek Pembagian Hadist …………………………………..8
BAB    III: PENUTUP………………………………………………………...11
A.    Simpulan…….…………………………………………….11
B.     Saran ……………………………...…………………… 11
C.     Daftar Pustaka…………………………………………  12



KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahi.       
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan makalah ini yang berjudul “Metodologi Studi Islam” dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Sholawat beserta salam semoga tetap terlimpahakn kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya termasuk kami semua. Tidak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing dan semua yang ikut serta dalam penulisan makalah ini.
Dalam makalah ini menjelaskan tentang “Pengelolaan Usaha dan Strategi Kewirausaahan”. Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu kritik dan masukan dari berbagai pihak penulis harapkan untuk menyempurnakanmakalah ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembacanya.


Watampone, 24 April 2016

Penulis





PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Di dalam makalah ini, kami akan membeberkan sedikit tentang sejarah hadis dari masa Rosululloh sampai masa pengkodifikasian. Manfaat kita mempelajari materi ini adalah agar kita dapat mengetahui bagaimana hadis-hadis yang telah sampai atau telah kita pelajari selama ini, pada saat dulu banyak mengalami kontroversi, baik dalam hal penerimaannya (pemaknaannya) maupun pembukuannya.
Hadis yang sering dijumpai tidak serta merta dapat diterima secara langsung, hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis tersebut untuk dijadikan landasan hidup. Oleh karena itulah kami mencoba mengkaji tentang pembagian hadist berdasarkan kuantitas dan kualitas, sebagai suatu metode untuk mengklasifikasikan hadist.
B.            Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat di rumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah definisi hadis dan sunnah?
2.      Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam?
3.      Bagaimanakah sejarah hadist?
4.      Bagaimana aspek  pembagian hadist?
C.           Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat di rumuskan sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui definisi hadist daan sunnah.
2.      Dapat mengetahui kedudukan hadist dalam al-qur’an.
3.      Dapat mengetahui sejarah hadist.
4.      Dapat mengetahui aspek  pembagian hadist dan sunnah.







BAB II
PEMBAHASAN
A.           Definisi Hadist dan Sunnah
Kata hadits berasal dari  kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadits selama ini. Ilmu hadis: ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau ucapkan, atau perbuatan 1yang beliau lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa sesuatu yang dilakukan di depan nabi saw,  perbuatan itu tidak dilarang olehnya) atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi rasul atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.
Pengertian hadits menurut istilah dari 3 sudut pandang Ulama:
1.             Menurut para Muhadditsun (ahli hadits)
Hadits didefinisikan sebagai segala riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan , perbuatan , ketetapan (taqrir), sifat fisik dan tingkah laku.
2.             Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyyun)
Para ushuliyyun mendefinisikan hadits sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an, berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syari’ah karena bersangkut-paut dengan hukum islam.
3.             Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)
Menurut sebagian ulama antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail , mengatakan bahwa hadits adalah segala perkataan , perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para tabiin.
Pemberitaan terhadap hal-hal yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut brita yang marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.
Menurut bahasa Sunnah berarti jalan atau arah. Sedangkan menurut pemahaman syara’, sunnah mempunyai makna yang berbeda-beda, sesuai pemahaman berbagai bidang tsaqafah islam.
Ø  Bagi Ulama Hadits :
Sunnah adalah segala sesuatau yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Yaitu meliputi perbuatan, perkataan, dan segala hal yang secara implisit disetujui (taqrir) Rasulullah SAW. Termasuk pula semua riwayat yang menggambarkan sifat dan akhlak beliau.
Ø  Bagi Ulama Fiqh:
Sunnah adalah salah satu hukum syara’. Dalam hal pengertian ini, istilah
sunnah bersinonim dengan istilah mandub atau nafilah. Sebagai contoh, mendirikan shalat wajib, atau menjalankan puasa selain puasa wajib di bulanramadhan disebut ibadah sunnah, mandub, atau nafilah.
Ø   Bagi Ulama Ushul Fiqh :
Sunnah adalah salah satu sumber hukum, disamping al-Qur’an. Dalam Ushul Fiqh, seseorang dapat mengatakan bahwa berpuasa di hari-hari selain bulan ramadhan beraal dari sunnah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa aturan ini berlandaskan dalil dari as-sunnah.[1]
Kesimpulannya ialah bahwa sesutau yang keluar dari Rasulullah SAW baik berupa ucapan, maupun perbuatan dalam salah sati dari empat kondisi yangtelah kami jelaskan, maka itulah termasuk sunnah beliau, akan tetapi bukan suatupenetapan hukum islam dan bukan pula merupakan undang-undang yang wajib diikuti. Adapun sesuatu yang keluar dari beliau baik ucapan maupun perbuatandalam fungsinya sebagai seorang rasul dan dimaksudkan sebagai suatupembentukan hukum islam secara umum dan menjadi tuntunan bagi ummat islam,maka ia merupakan hujjah atas kaum muslimin dan undang-undang yang wajib diikuti.
                                  
B.            Kedudukan Hadist dan AS-Sunnah
1)             Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam
Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut. Banyak ayat Al-Qur’an  dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
a)             Dalil Al-Qur’an
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin), dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (Qs. Ali Imran:179)
b)             Dalil Al-Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك )
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik) Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang teguh pada Al-Qur’an.
2)             Kedudukan Sunnah
Kedudukan sunnah dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam, menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-quran. Argumen yang dikemukakan para ulama tentang posisi sunnah terhadap al-Quran tersebut yaitu :
1)      Alquran dengan sifatnya yang qathi al-wurud  (keberadaannya yang pastidan diyakini), baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi dari pada sunnah yang statusnya secara hadits per hadits, kecuali yang berstatus mutawatir, adalah bersifa zhanni al-wurud (tidak sepenuhnya pasti). 
2)      Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan penjabar (bayan) terhadap al-quran. Ini berarti bahwa yang dijelaskan (al-mubayyan), yakni al-quran,kedudukannya adalah lebih tinggi daripada penjelasan (bayan), yaknisunnah.[2]

Sikap para sahabat yang merujuk kepada al-quran terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah, dan jika didalam Al-quran tidak ditemui penjelasannya, barulah mereka merujuk kepada as-sunnah yang mereka ketahui atau menanyakan sunnah kepada sahabat yang lain. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai as-sunnah, karena keduanya, Al-quran dan sunnah, pada hakikatnya sama-sama berasal dari wahyu Allah SWT. Karenanya keduanya adalah seiring sejalan.
C.           Sejarah Hadist
Hadits telah berlangsung sejalan dengan perjalanan ajaran islam. Ketika Rasulullah mulai berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan, maka pada saat itulah hadits mulai muncul. Pada masa Rosululloh diantara umat islam tidak pernah terjadi pertentangan atau perbedaan pemahaman tentang sebuah hadits. Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah persoalan atau kesalahan pemahaman tentang sebuah hadits, maka secara langsung dapat dikonfirmasikan kepada Rosululloh. Berbeda dengan masa-masa sesudah rosululloh wafat. Pada masa ini telah terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan meluasnya wilayah islam yang bukan hanya berada di wilayah semenanjung arab.
a.             Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa Nabi segala bentuk sifat, karakter, dan tingkah lakunya yang dinisbahkan oleh nabi muhammad SAW disebut hadits yang disampaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Rosululloh penyampaian terjadi di mana dan kapan saja. Bahkan sering kali Rasulullah menyampaikan hadis sambil duduk-duduk di alam terbuka dan penyampaian hadisnya dengan sangat akrab kepada para sahabatnya.
Pada masa Rasululah hadis belum dikodifikasikan karena masih dalam pembentukan dan perkembangan. Selain itu juga, Nabi dan sahabat masih sibuk untuk menghafal dan menuliskan Al-Qur’an sehingga hadis pada masa Rosululloh hanya dihafal para sahabat yang menulis Hadis saja.
Pada zaman Rasulullah para sahabat saling membantu dalam menghafal, mereka saling membantu menghafal dari malam sampai dini hari. [3]
b.             Hadis Pada Masa Sahabat
Sekalipun terdapat Hadis Nabi SAW yang membolehkan penulisan Hadis dan sekalipun pada masa beliau sejumlah sahabat telah menulis Hadis dengan seizin beliau, para sahabat tetap menahan diri dari menuliskan Hadis pada masa Khulafa’urasyidin. Sebab mereka sangat menginginkan keselamatan Al-Quran. Diantara para sahabat ada yang melarang penulisan As-Sunah dan ada pula yang membolehkannya. Tidak lama setelah itu banyak sahabat yang membolehkan penulisan Hadis, bahkan ada sebagian sahabat yang semula melarang penulisan Hadis, kemudian membolehkannya.


c.              Hadis Pada Masa Khulafaurrosyidin
Para sahabat, sesudah Rasul wafat tidak lagi berdiam di kota madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lainpun mulai menerima hadis. Para tabi’in mempelajari hadis dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi’in.[4]
Data sejarah di atas menunjukkan bahwa Hadis pada masa sahabat, khususnya Khulafa’urasyidin, dikodifikasikan secara resmi, bahkan dalam hal periwayatan pun mereka mempersempit ruang geraknya. Hal ini dipahami dari adanya regulasi-regulasi yang membatasi periwayatan Hadis, sampai pembakaran terhadap sebagian Hadis yang sudah ada.  

D.           Aspek Pembagian Hadist
1)             Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Pengertian Kata mutawatir menurut lughat ialah al-mutatabi` yang berarti yang datang kemudian, beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan lainnya tanpa adanya jarak dan Hadis juga adalah yang bersifat indrawi yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya, yang secara tradisi dan akal sehat mustahil mereka besepakat untuk berusta dan memalsukan hadist.[5] Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir terbagi menjadi dua, yakni mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawi.
Hadist Masyhur menurut bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan. Dikatakan masyur karena telah menyebar luas dikalangan msyarakat. Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam yaitu: Masyhur Ishthilaahi . Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan (tabaqaqh) sanad dan belum mencapai tingkat mutawatir. Contoh hadis : “ sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan dengan mengambil para ulama, sehingga apabila tidak terdapat serang yang alim maka orang yang bodoh akan dijaikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”dan Hadist Masyhur Ghayr Ishthilahi adalah hadis yang popular atau terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun jumlah perawinya tidak mencapai tiga orang atau lebih.
Hadist Ahad merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau tunggal. Sedangkan menurut istilah ulama, Hadis Ahad adalah : “Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar mutawatir”. Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.[6]
2)             Pembagian Haditst Berdasakan Kualitas
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
Ø   Hadits Sahih
Syarat hadits Sahih adalah :
·              Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
·              Kedhabitan perawinya sempurna.
·              Sanadnya bersambung
·              Tidak ada cacat atau illat.
·              Matannya tidak syaz atau janggal
Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW. “Hadits sahih adalah hadits yang susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir, atau ijimak serta para rawinya ‘adil dan dhabit.”
Ø   Hadits Hasan  
Syarat hadits hasan adalah:
·         Para perawinya adil.
·         Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
·         Sanadnya bersambung.
·         Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
·         Tidak ada cacat atau ‘illat.
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah : “Yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yang sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
Ø   Hadits Dhaif
Hadits dhaif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama
memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadits dhaif “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”  Jadi hadits dhaif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits dhaif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.



BAB III
A.            Simpulan
Kata hadits berasal dari  kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. Pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.
Menurut bahasa Sunnah berarti jalan atau arah. Sedangkan menurut pemahaman syara’, sunnah mempunyai makna yang berbeda-beda, sesuai pemahaman berbagai bidang tsaqafah islam.
Sejarah hadist di bagi menjadi tiga bagian yaitu: Hadis Pada Masa Nabi Muhammad SAW, Hadis Pada Masa Sahabat, Hadis Pada Masa Khulafaurrosyidin.
Aspek dan pembagian hadist di bagi menjadi 2 yaitu: Pembagian Hadits berdasarkan kuantitas dan Pembagian hadits berdasarkan Kualitas. Dalam Pembagian hadits berdasarkan Kualitas di bagi menjadi 3 yakni: hadist Sahih, hadist Hasan dan hadist Dhaif.
B.            Saran
Demikianlah yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini,tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan, kurangnya rujukan dan referensi yang kami peroleh. Penulis banyak berharap kepada pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang bersifat membangundemi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para penulis dan para pembaca. Amin
                




DAFTAR PUSTAKA

Drs. H Mudasir, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press. 1999.
 Azami M.M, Hadis Nabawi. Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.1, 1994, cet.2, Des 2000.
Sulaiman, Moh. Noor.2008
Zuhri. 2003. Hadis Nabi. PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta



[1] Iyad Hilal, Studi tentang Ushul Fiqh, hal : 28
[2] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal :55.
[3] Hadits Nabawi dari sejarah dan kodifikasinya, hlm 448.

[4] Ibid, hlm 44.
[5] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
[6] Hadits, Jakarta : Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 90