METODOLOGI STUDI
ISLAM
Makalah
ini diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah
Metodologi
Studi Islam Semester VI jurusan Tarbiyah
Program
Studi Tadris Bahasa Inggris
Oleh :
Mariana : 02134094
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
2014
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR …………………………………………………………… i
BAB
I : PENDAHULUAN………………………………………………..
A. Latar
belakang…………………………………………. ..…1
B. Rumusan
masalah ……………………………………..……2
C. Tujuan ………………………………………………….. ….2
BAB
II : PEMBAHASAN………………………………………………3
A. Definisi
Hadist dan Sunnah……………………...……..…..3
B. Kedudukan
Hadist dan AS-Sunnah
…………………… …5
C. Sejarah Hadist ………………………………………………6
D. Aspek Pembagian Hadist
…………………………………..8
BAB III: PENUTUP………………………………………………………...11
A. Simpulan…….…………………………………………….11
B. Saran
……………………………...…………………… 11
C. Daftar
Pustaka………………………………………… 12
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahi.
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah Swt, berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan makalah
ini yang berjudul “Metodologi Studi Islam” dapat terselesaikan dengan tepat
waktu. Sholawat beserta salam semoga tetap terlimpahakn kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya
termasuk kami semua. Tidak lupa pula penulis ucapkan banyak terima kasih kepada
dosen pembimbing dan semua yang ikut serta dalam penulisan makalah ini.
Dalam makalah ini menjelaskan tentang
“Pengelolaan Usaha dan Strategi Kewirausaahan”. Penulis menyadari akan
kekurangan dari makalah ini. Oleh karena itu kritik dan masukan dari berbagai
pihak penulis harapkan untuk menyempurnakanmakalah ini dan semoga dengan
selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembacanya.
Watampone, 24
April 2016
Penulis
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar
(cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan,
perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi
para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan
Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup pula
perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik
dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui,
bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Di dalam
makalah ini, kami akan membeberkan sedikit tentang sejarah hadis dari masa
Rosululloh sampai masa pengkodifikasian. Manfaat kita mempelajari materi ini
adalah agar kita dapat mengetahui bagaimana hadis-hadis yang telah sampai atau
telah kita pelajari selama ini, pada saat dulu banyak mengalami kontroversi,
baik dalam hal penerimaannya (pemaknaannya) maupun pembukuannya.
Hadis yang sering dijumpai tidak serta merta dapat diterima
secara langsung, hadis yang di dapati perlu adanya pencarian jati diri hadis
tersebut untuk dijadikan landasan hidup. Oleh karena itulah kami mencoba
mengkaji tentang pembagian hadist berdasarkan kuantitas dan kualitas, sebagai
suatu metode untuk mengklasifikasikan hadist.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat di rumuskan
sebagai berikut:
1. Apakah
definisi hadis dan sunnah?
2. Bagaimana
kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam?
3. Bagaimanakah
sejarah hadist?
4. Bagaimana
aspek pembagian hadist?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat di rumuskan
sebagai berikut:
1. Dapat
mengetahui definisi hadist daan sunnah.
2. Dapat
mengetahui kedudukan hadist dalam al-qur’an.
3. Dapat
mengetahui sejarah hadist.
4. Dapat
mengetahui aspek pembagian hadist dan
sunnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Hadist dan Sunnah
Kata hadits berasal
dari kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. Namun yang
terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama
hadits selama ini. Ilmu hadis: ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa
saja yang dihubungkan dangan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan beliau
ucapkan, atau perbuatan 1yang beliau
lakukan, atau pengakuan yang beliau ikrarkan (yakni berupa sesuatu yang
dilakukan di depan nabi saw, perbuatan itu tidak dilarang olehnya)
atau sifat-sifat nabi saw, termasuk tingkah laku beliau sebelum menjadi rasul
atau sesudahnya, atau menukil/meriwayatkan apa saja yng dihubungkan kepada
sahabat atau tabi’in.
Sedangkan
pengertian hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir)
dan sebagainya”.
Pengertian hadits menurut istilah dari
3 sudut pandang Ulama:
1.
Menurut para Muhadditsun (ahli
hadits)
Hadits didefinisikan sebagai segala
riwayat yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan , perbuatan , ketetapan
(taqrir), sifat fisik dan tingkah laku.
2.
Menurut para ahli ushul fiqh
(ushuliyyun)
Para ushuliyyun mendefinisikan hadits
sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an,
berupa perkataan,
perbuatan
maupun ketetapan (taqrir) beliau, yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum
syari’ah karena bersangkut-paut dengan hukum islam.
3.
Menurut sebagian ulama (jumhur ulama)
Menurut sebagian ulama antara lain
at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail , mengatakan bahwa hadits
adalah segala perkataan , perbuatan, dan takrir nabi, para sahabat, dan para
tabiin.
Pemberitaan
terhadap hal-hal yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW disebut brita yang
marfu’, sedangkan yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan
yang disandarkan kepada tabi’iy disebut maqthu’.
Menurut bahasa Sunnah berarti jalan
atau arah. Sedangkan menurut pemahaman syara’, sunnah mempunyai makna yang
berbeda-beda, sesuai pemahaman berbagai bidang tsaqafah islam.
Ø Bagi Ulama Hadits :
Sunnah adalah segala sesuatau yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW. Yaitu meliputi perbuatan, perkataan, dan segala hal yang secara
implisit disetujui (taqrir) Rasulullah SAW. Termasuk pula semua riwayat yang menggambarkan
sifat dan akhlak beliau.
Ø Bagi Ulama Fiqh:
Sunnah adalah salah satu hukum syara’. Dalam hal
pengertian ini, istilah
sunnah bersinonim dengan istilah mandub atau nafilah.
Sebagai contoh, mendirikan shalat wajib, atau menjalankan puasa selain puasa
wajib di bulanramadhan disebut ibadah sunnah, mandub, atau nafilah.
Ø Bagi Ulama Ushul Fiqh :
Sunnah adalah salah satu sumber hukum, disamping al-Qur’an.
Dalam Ushul Fiqh, seseorang dapat mengatakan bahwa berpuasa di
hari-hari selain bulan ramadhan beraal dari sunnah. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa aturan ini berlandaskan dalil dari as-sunnah.[1]
Kesimpulannya ialah bahwa sesutau
yang keluar dari Rasulullah SAW baik berupa ucapan, maupun perbuatan dalam
salah sati dari empat kondisi yangtelah kami jelaskan, maka itulah termasuk sunnah
beliau, akan tetapi bukan suatupenetapan hukum islam dan bukan pula merupakan
undang-undang yang wajib diikuti. Adapun sesuatu yang keluar dari beliau baik
ucapan maupun perbuatandalam fungsinya sebagai seorang rasul dan dimaksudkan
sebagai suatupembentukan hukum islam secara umum dan menjadi tuntunan bagi
ummat islam,maka ia merupakan hujjah atas kaum muslimin dan undang-undang yang
wajib diikuti.
B.
Kedudukan
Hadist dan AS-Sunnah
1)
Kedudukan Hadits Terhadap Hukum Islam
Al-Qur’an dan
Hadis merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tetap, yang
orang islam tidak mungkin memahami syariat islam secara mendalam dan lengkap
dengan tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut. Banyak ayat
Al-Qur’an dan Hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu
merupakan sumber hukum islam selain al-qur’an yang wajib diikuti, baik dalam
perintah maupun larangannya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tantang
kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam dengan melihat beberapa dalil, baik
naqli maupun aqli.
a)
Dalil Al-Qur’an
Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu
sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mukmin), dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal
yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
rasul-rasul-Nya
karena itu
berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa,
maka bagimu
pahala yang besar. (Qs. Ali Imran:179)
b)
Dalil Al-Hadis
Dalam salah satu
pesan Rasulullah saw, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai
pedoman utamanya. Beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم
بهما كتاب الله وسنة نبيه (رواه مالك )
Artinya : Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian,
yang kalian tidak
akan akan
tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yang berupa kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik) Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah
kamu sekalian dengannya. Hadis di atas
menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadis atau menjadikan
hadis sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana berpegang
teguh pada Al-Qur’an.
2)
Kedudukan Sunnah
Kedudukan sunnah dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam,
menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-quran. Argumen
yang dikemukakan para ulama tentang posisi sunnah terhadap al-Quran tersebut
yaitu :
1) Alquran dengan sifatnya yang qathi al-wurud (keberadaannya yang pastidan
diyakini), baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah
kedudukannya lebih tinggi dari pada sunnah yang statusnya secara
hadits per hadits, kecuali yang berstatus mutawatir, adalah bersifa zhanni
al-wurud (tidak sepenuhnya pasti).
2) Sunnah berfungsi sebagai penjelas
dan penjabar (bayan) terhadap al-quran. Ini berarti bahwa yang dijelaskan
(al-mubayyan), yakni al-quran,kedudukannya adalah lebih tinggi daripada penjelasan
(bayan), yaknisunnah.[2]
Sikap para sahabat yang merujuk
kepada al-quran terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar
atas suatu masalah, dan jika didalam Al-quran tidak ditemui penjelasannya,
barulah mereka merujuk kepada
as-sunnah yang mereka ketahui atau menanyakan sunnah kepada sahabat yang lain. Meskipun
demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi nilai as-sunnah, karena keduanya, Al-quran
dan sunnah, pada hakikatnya sama-sama berasal dari wahyu Allah SWT. Karenanya
keduanya adalah seiring sejalan.
C.
Sejarah Hadist
Hadits telah berlangsung sejalan dengan perjalanan ajaran islam.
Ketika Rasulullah mulai berdakwah dengan cara sembunyi-sembunyi sampai
terang-terangan, maka pada saat itulah hadits mulai muncul. Pada masa
Rosululloh diantara umat islam tidak pernah terjadi pertentangan atau perbedaan
pemahaman tentang sebuah hadits. Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah
persoalan atau kesalahan pemahaman tentang sebuah hadits, maka secara langsung
dapat dikonfirmasikan kepada Rosululloh. Berbeda dengan masa-masa sesudah
rosululloh wafat. Pada masa ini telah terjadi penafsiran yang berbeda seiring
dengan meluasnya wilayah islam yang bukan hanya berada di wilayah semenanjung
arab.
a.
Hadis
Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa Nabi segala bentuk sifat, karakter, dan tingkah
lakunya yang dinisbahkan oleh nabi muhammad SAW disebut hadits yang disampaikan
dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Rosululloh penyampaian terjadi di mana
dan kapan saja. Bahkan sering kali Rasulullah menyampaikan hadis sambil
duduk-duduk di alam terbuka dan penyampaian hadisnya dengan sangat akrab kepada
para sahabatnya.
Pada masa Rasululah hadis belum dikodifikasikan karena masih
dalam pembentukan dan perkembangan. Selain itu juga, Nabi dan sahabat masih
sibuk untuk menghafal dan menuliskan Al-Qur’an sehingga hadis pada masa
Rosululloh hanya dihafal para sahabat yang menulis Hadis saja.
Pada zaman Rasulullah para sahabat saling membantu dalam
menghafal, mereka saling membantu menghafal dari malam sampai dini hari. [3]
b.
Hadis
Pada Masa Sahabat
Sekalipun terdapat Hadis Nabi SAW yang membolehkan penulisan
Hadis dan sekalipun pada masa beliau sejumlah sahabat telah menulis Hadis
dengan seizin beliau, para sahabat tetap menahan diri dari menuliskan Hadis
pada masa Khulafa’urasyidin. Sebab mereka sangat menginginkan keselamatan
Al-Quran. Diantara para sahabat ada yang melarang penulisan As-Sunah dan ada
pula yang membolehkannya. Tidak lama setelah itu banyak sahabat yang
membolehkan penulisan Hadis, bahkan ada sebagian sahabat yang semula melarang
penulisan Hadis, kemudian membolehkannya.
c.
Hadis
Pada Masa Khulafaurrosyidin
Para sahabat, sesudah Rasul wafat tidak lagi berdiam di kota
madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lainpun mulai
menerima hadis. Para tabi’in mempelajari hadis dari para sahabat itu. Dengan
demikian mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi’in.[4]
Data sejarah di atas menunjukkan bahwa Hadis pada masa
sahabat, khususnya Khulafa’urasyidin, dikodifikasikan secara resmi, bahkan
dalam hal periwayatan pun mereka mempersempit ruang geraknya. Hal ini dipahami
dari adanya regulasi-regulasi yang membatasi periwayatan Hadis, sampai
pembakaran terhadap sebagian Hadis yang sudah ada.
D.
Aspek Pembagian Hadist
1)
Pembagian
Hadits Berdasarkan Kuantitas
Para ulama hadits berbeda pendapat
tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah perawi yang
menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya
menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Pengertian Kata mutawatir menurut lughat ialah al-mutatabi`
yang berarti yang datang kemudian, beriring-iringan atau berturut-turut antara
satu dengan lainnya tanpa adanya jarak dan Hadis juga adalah yang bersifat
indrawi yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya,
yang secara tradisi dan akal sehat mustahil mereka besepakat untuk berusta dan
memalsukan hadist.[5]
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir
terbagi menjadi dua, yakni mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawi.
Hadist Masyhur menurut bahasa adalah tenar, terkenal atau menampakkan.
Dikatakan masyur karena telah menyebar luas dikalangan msyarakat. Dalam istialh
hadis masyhur terbagi menjadi dua macam yaitu: Masyhur Ishthilaahi . Yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan
(tabaqaqh) sanad dan belum mencapai tingkat mutawatir. Contoh hadis : “
sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada
seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan dengan mengambil para ulama,
sehingga apabila tidak terdapat serang yang alim maka orang yang bodoh akan
dijaikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka
sesat dan menyesatkan”dan Hadist Masyhur
Ghayr Ishthilahi adalah hadis
yang popular atau terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu,
sekalipun jumlah perawinya tidak mencapai tiga orang atau lebih.
Hadist Ahad merupakan jamak dari ahad dengan
makna satu atau tunggal. Sedangkan menurut istilah ulama, Hadis Ahad adalah : “Khabar yang tiada sampai
jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah khabar mutawatir, baik pengkhabar itu
seorang, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang
tiada memberi pengertian bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke
dalam khabar mutawatir”. Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid.
Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan
dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan, atau
dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam
kategori hadits mutawatir.[6]
2)
Pembagian
Haditst Berdasakan Kualitas
Berdasarkan
kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
Ø
Hadits
Sahih
Syarat
hadits Sahih adalah :
·
Diriwayatkan
oleh perawi yang adil.
·
Kedhabitan
perawinya sempurna.
·
Sanadnya
bersambung
·
Tidak
ada cacat atau illat.
·
Matannya
tidak syaz atau janggal
Hadits sahih menurut bahasa berarti
hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW.
“Hadits sahih adalah hadits yang susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya
tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir, atau ijimak serta para
rawinya ‘adil dan dhabit.”
Ø Hadits Hasan
Syarat
hadits hasan adalah:
·
Para
perawinya adil.
·
Kedhabitan
perawinya dibawah perawi hadits sahih.
·
Sanadnya
bersambung.
·
Tidak
mengandung kejanggalan pada matannya.
·
Tidak
ada cacat atau ‘illat.
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam
Turmuzi hadits hasan adalah : “Yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami
adalah hadits yang sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang
diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai
berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula
yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
Ø Hadits Dhaif
Hadits dhaif menurut bahasa berarti
hadits yang lemah, yakni para ulama
memiliki
dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal
dari Rasulullah SAW. Para ulama memberi batasan bagi hadits dhaif “Hadits
dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.” Jadi hadits dhaif itu bukan
saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi
syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits dhaif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.
BAB III
A.
Simpulan
Kata hadits berasal
dari kata hadits , jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. Pengertian
hadits secara terminologis adalah “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
sebagainya”.
Menurut bahasa Sunnah berarti jalan
atau arah. Sedangkan menurut pemahaman syara’, sunnah mempunyai makna yang
berbeda-beda, sesuai pemahaman berbagai bidang tsaqafah islam.
Sejarah hadist di bagi menjadi tiga
bagian yaitu: Hadis Pada Masa Nabi
Muhammad SAW, Hadis Pada Masa Sahabat, Hadis Pada Masa Khulafaurrosyidin.
Aspek dan pembagian hadist di bagi
menjadi 2 yaitu: Pembagian Hadits berdasarkan
kuantitas dan Pembagian hadits berdasarkan
Kualitas. Dalam Pembagian hadits
berdasarkan Kualitas di bagi menjadi 3 yakni: hadist Sahih, hadist Hasan dan
hadist Dhaif.
B.
Saran
Demikianlah
yang dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah
ini,tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan,
kurangnya rujukan dan referensi yang kami peroleh. Penulis banyak berharap
kepada pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangundemi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para penulis dan para pembaca. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H Mudasir, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press. 1999.
Azami M.M, Hadis Nabawi. Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet.1, 1994, cet.2, Des 2000.
Sulaiman, Moh. Noor.2008
Zuhri.
2003. Hadis Nabi. PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta
terima kasih kak blog nya sangat membantu d sekali, semoga sukses selalu kak
BalasHapusSaya thasya nur oktavia dari ISB Atma Luhur